Kesenian (Seniman) dan Pemerintah

 Pasca tsunami dan pasca konflik, kini berjalan tentu membawa harapan  baru pada kesenian dan seniman, sebagai mementum kebangkitan. Bagi Pemda peluang ini, memberi semangat baru untuk mengangkat kembali citra dan keunikan seni dengan berbagai tujuan pragmatiknya. Bagi para pelaku seni (seniman), kondisi ini memberi peluang strategis untuk kembali berkarya dan berkreasi, setelah sekian lama tersendat oleh kuatnya tekanan ideologi politik. pemerintah, artinya pemerintah memegang ”saham” dalam posisi suferior. Hambatan ”politik” membuat seniman dan kesenian ditempatkan pada lapisan paling bawah, bahkan di luar struktur pemerintah dalam membentuk identitas sosial masyarakat, hilangnya peran strategis – jika pun ada dalam posisi marjinal.
Tersendatnya dinamika perkembangan karya cipta seni (seniman) secara progres – kompleks dan melahirkan tradisi ”baru”, juga disebabkan warisan lama dalam pemahaman dan aplikasi ”kekerabatan”, sampai hari ini memberi jejak, mengakar hingga kini. Sehingga muncul sikap skeptis – apatis dalam konsepsi maupun teknis untuk merekonstruksi atau merevitalisasi karakteristik masyarakat dalam setiap dimensi sosialnya. Menyangkut hal yang lebih substansial, yakni visi dan pandangan mengenai bagaimana seni (seniman) dapat memberi konstribusi nilai positif terabaikan bahkan jauh dari harapan.
Kepres No. 84 tahun 1999 tentang pemanfaatan seni dan budaya. Makna pemanfaatan di sini menjadikan seni sebagai objek bagi pemerintah. Celakanya, dimanapun objek selalu menjadi pihak yang dirugikan, secara etika – moral dan tradisinya. Seperti pemanfaatan seni bertujuan meningkatkan upaya pengembangan kepariwisataan dalam rangka kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini pemanfaatan seni menjadi alternatif industri yang dapat menambah retribusi pendapatan pemerintah. Konsekuensi logis, melahirkan seni sebagai objek komoditas, profan – hiburan dan barang dagangan yang dikemas dan dipasarkan. Fenomena ini memicu terjadinya konflik bagi ideologi seniman dalam memperjuangkan nilai-nilai humanisme universal. Akhirnya seniman berteriak – kami bukan ”pelacur” dan bukan sumber daya yang dapat dieksploitasi semaunya.        
            Keberadaaan seni (seniman) dan pemerintah bermakna paradoks dalam posisi berlawanan. Disatu sisi; bisa membutuhkan (pengadaan program dan permintaan anggaran), di satu sisi saling berseberangan (sifat dan filsafatnya). Pemerintah (birokrasi) bersifat struktural – vertikal (intruksional), sementara seni (man) bersifat sosial-horizontal (empiris, inspiratif dan interpretatif). Keduanya paradoks, bisa saling menghargai, bisa saling menguntungkan sekaligus meruntuhkan. Dua hal yang ternyata sulit ”disandingkan”, sebab kesenian tumbuh dari suatu proses kesadaran pangalaman empiris, dari berbagai hal: phisik dan phisikis, baik terencana maupun spontan/ improvisasi. Mustahil pemerintah menjalankan sistem birokrasi dengan menganalogikan sistem filosofis seni, demikian juga seniman dalam konteks melahirkan suatu produk budaya, tidak mampu mengikuti prinsip-prinsip sistem birokrasi pemerintah.
Sehingga dalam perspektif historis dari masa Orde Baru – pasca tsunami dan pasca konflik, kecenderungan pemerintah memandang kesenian dan seniman ada tinggi ada rendah, ada di depan ada di belakang, ada anak kandung ada anak tiri. Pandangan ini dalam praktiknya tercermin kuatnya doktrin paham feodal yang dipraktikkan jauh sebelum pasca tsunami dan pasca konflik. Realitas faltualnya adalah; didirikan sanggar seni dalam alur struktur birokrasi pemerintah dan sumber dananya berasal APBD. Selain itu berbagai kelompok atau individu seniman lebih banyak ”ditunangkan” – tertutupnya ruang dialogis – demokratis, bahkan dieliminasi dari habitat aslinya hingga konflik horizontal terjadi yang mengakibatkan seniman tidak saling mengenal dan memahami atau tidak saling peduli. 
Terkait dengan biaya produksi bagi seniman produk budaya ”serius”. Dari pengamatan dan pengalaman empiris, ternyata dukungan dan pembiayaan produk seni ”serius” lebih banyak bersumber dari swadaya bersama – personal bahkan dari kalangan kerabat seniman yang berempati. Kalaupun ada bantuan dari pemerintah  hanya bersifat ala adanya. Lain hal bagi kerabat dekat yang jitu dalam memanipulasi dan merekayasa ”bahasa”, hal ini menyuburkan konspirasi kekerabatan bernilai negatif (KKN). Ditambah lagi dengan pajak sebagai sumber retribusi daerah dari biaya penyewaan fasilitas publik (gedung) dan publikasi yang semakin menggigit. Bagi penulis pajak sebaiknya diperuntukkan bagi seni yang bersifat hiburan atau ada kepentingan produk dari rekayasa kapitalis. Tidak baik jika pajak diperuntukan bagi pertunjukan seni sebagai produksi kultural, dari olahan dan pembentukan hasil penggalian dan eksplorasi panjang dengan tujuan pencapaian kualitas estetik artistiknya.. Bagi produk budaya melalui pertunjukan seni ”serius” lebih banyak menghabiskan uang dan bukan untuk mengumpulkan uang.
Potret buram ini diperparah dengan subsidi terhadap kesenian, lebih dianggap sebagai ”beban” dari pada ”kewajiban” pemerintah. Artinya pengalokasian dana untuk kerja-kerja kreatif (penciptaan) seniman bukan dipandang sebagai ”hak” tapi lebih dianggap ”belas kasih” atau sebagai politik tutup mulut. Pada hal tempo dulu segala pembiayaan seni, umumnya berasal dari para raja, agamawan, dan bangsawan. Pada masa itu, para seniman tidak hanya diberi penghidupan yang layak, tetapi diangkat sebagai pegawai kerajaan, diberi lahan garap dan diberi gelar kebangsawanan atas dedikasi dan prestasi dalam karya ciptanya.
Kondisi ini diperparah dengan kedudukan mata pelajaran kesenian di sekolah dalam setiap jenjang. Mata pelajaran kesenian menjadi terpinggirkan dan menjadi minoritas. Pelajaran kesenian dianggap tidak penting hanya tambahan belaka, bahkan ada disebagian sekolah, pelajaran seni diganti dengan pelajaran matematika, IPA, komputer, bahasa Inggris karena dirasa lebih penting. Pada hal pendidikan seni dengan segala fungsinya dapat mengarahkan seseorang lebih beradap, memiliki nilai estetik dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah hidupnya dan akhirnya dapat meredam munculnya penyakit jiwa – kesalehan sosial.  
            Sebagai penutup, tulisan ini hanya untuk mendengungkan kembali permasalahan klasik, untuk suatu harapan yang tidak pernah sampai tentang bagaimana eksistensi penghargaaan kesenian (seniman). Posisi inferior kesenian (seniman) akan mengalami kontinuitas jika seniman memiliki kesadaran politik untuk ”melawan” – memperjuangkan hak konstitusional. Bukankah suatu kompetisi menawarkan berbagai kemungkinan, suatu posisi seimbang?. Kemenangan tidak datang tanpa upaya, kemenangan harus direbut. Dalam koreografi; tubuh harus ditakhlukan dan dikuasai dengan kesadaran ruang dan waktu agar tercapai kualitas estetik artistik jauh melampaui logika dan emosi penikmat (penonton).

Penulis Ketua Sanggar CakraMata (Koreografer)
 Alumni Pasca Sarjana ISI Surakarta

 
Copyright © 2014 Share In Love - All Rights Reserved
Template By. Catatan Info