Sebut saja namanya Yusuf. Ikhwan semester V yang cukup aktif di lembaga dakwah kampus ini sedang dirundung gelisah. Pasalnya cukup sederhana. Dalam dua bulan terakhir ini ia banyak disibukkan dengan berbagai kegiatan yang temanya tidak jauh dari seputar "pernikahan". Mulai dari seminar, bedah buku, kajian-kajian rutin, dan ditambah lagi dengan diskusi-diskusi dadakan yang terjadi setiap ngumpul bareng teman-teman ikhwannya yang juga tak pernah lepas dari tema yang sama.
Dampaknya ternyata cukup dirasakan Yusuf sebagai suatu hal yang Sangat mengganggu kestabilan hatinya. Ia menjadi mudah resah, gelisah, dan berbagai aktivitasnya menjadi terganggu. Karena tanpa disadarinya, ia menjadi sering berangan-angan untuk hal yang satu ini. Keinginannya untuk menikah semakin besar, bahkan ia pun tanpa sengaja membayangkan akhwat mana yang akan mendampinginya kelak. Astaghfirullahaladzim.
Hal inilah yang membuat Yusuf semakin bingung. Ibadahnya mau tak mau terwarnai dengan virus hati yang secara tidak sadar sudah masuk ke tubuhnya. Kenapa? Karena mungkin sebenarnya ia belum mempunyai kesiapan yang benar-benar untuk menuju ke sana dalam waktu dekat ini. Niat untuk menikah pastilah ada. Namun bukankah niat itu tetap harus dibingkai untuk Sesuai dengan maknanya? Keseringannya mengikuti atau sekedar menjadi panitia dalam acara-acara tersebut ternyata telah menjadikan niat itu direfleksikan sebagai angan-angan yang seharusnya tidak dilakukannya.
Masalah Yusuf di atas mungkin banyak dialami oleh teman-teman kita baik ikhwan maupun akhwat. Pernikahan bagi remaja merupakan masalah yang asyik dibicarakan. Apalagi di usia-usia mahasiswa seperti saat ini. Pernikahan seolah-olah menjadi sesuatu hal yang istimewa dan bersejarah bagi kehidupan seorang manusia. Kesenangan, keindahan, dan kebahagiaan seakan-akan telah menunggu di jenjang pernikahan. Jika kita menikah maka akan bermekaranlah bunga-bunga di beranda rumah kita. Akan ada teman diskusi, tidak single fighter lagi dan yang paling aman akan terjaga hati kita. Masalah ini memang bukan sesuatu yang harus dihindari. Karena pernikahan adalah sesuatu yang fithrah bagi setiap manusia. Yang jadi permasalahannya adalah bagaimana kita menyikapi pernikahan ini dalam hidup.
Dalam kaitannya dengan ibadah. Pernikahan yang dilandasi dengan mengharap ridlo Allah SWT, menduduki tingkatan yang tinggi. Dijelaskan bahwa pernikahan separuh dari dien ini. Pernikahan semacam ini bisa mengalahkan jenis ibadah lain. Secara kebutuhan manusia, nikah merupakan sesuatu hal yang biasa. Pernikahan sama dengan kebutuhan manusia untuk makan dan minum, istirahat, belajar, olahraga, dll. Kalau memang pernikahan adalah sesuatu hal yang istimewa, waktunya tidak lebih dari seumur jagung. Waktu-waktu berikutnya akan berjalan seperti biasa. Socrates mengatakan "jika kita menikah kita akan menyesal, tetapi jika kita tidak menikah, kita juga akan menyesal". Sedangkan Lincoln mengatakan "perkawinan bukanlah sorga, bukan pula neraka, tetapi merupakan api pencuci semata".
Untuk kasus Yusuf di atas, jika menganggap masalah pernikahan adalah sesuatu hal yang istimewa, sesuatu hal segala-galanya dalam hidup, justru ia nanti akan kecewa, jika sudah memasuki masa pernikahan. Semua impian indah dan angan-angan kesenangan menjadi sirna setelah melihat realita yang dialaminya tidak Sesuai dengan yang diinginkan. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam menikah, selain semangat untuk menggenapkan dien. Yang pertama kali harus dilakukan adalah proses demitologisasi, menempatkan kembali posisi nikah menjadi objektif, rasionalis dan realistis. Setelah kita berfikir jernih, utuh dan sehat, barulah kita bisa melihat kembali ke persoalannya. Merumuskan masalah, penuh dengan pertimbangan dan akhirnya menentukan keputusan. Kita lihat sejenak SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Treath) dan lihat 5 W+ 1 H (why, when, who, what, where + how). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah doa, sabar, tawakal serta ridlo orang tua. Jika semua memang sudah memungkinkan tidak ada salahnya kita untuk bersegera menuju jenjang pernikahan. Walaupun ada sebuah anekdot yang menyebutkan bahwa pernikahan 25 % kesenangan sedangkan yang lainnya adalah problematika. Di sini tergantung dari individunya masing-masing. Jikalau bisa mengelolanya maka problematika tidak menutup kemungkinan bisa berbuah pula kebahagiaan. Dan akan menjadi bencana serta kesengsaraan jika tidak bisa mengatasi problematika dalam pernikahan.
Niat untuk menikah tetaplah harus ada. Bahkan bagi setiap manusia normal pernikahan mau tidak mau harus dilaluinya. Namun pernikahan jangan sampai dilakukan dengan ketergesa-gesaan. Hanya karena semangat ingin menggenapkan dien, tanpa mempertimbangkan factor lain sebagai penunjangnya. Namun ia juga bukan sesuatu hal yang boleh ditunda-tunda jika waktunya telah tiba. Pernikahan tetap harus dipikirkan, dan disesuaikan dengan alur kehidupan kita sendiri. Acara-acara tentang masalah pernikahan perlu tetap ada sebagai fungsi kita terhadap umat. Namun di sisi lain acara-acara tersebut jangan sampai membuat kita menjadi latah yang akhirnya menyebabkan niatan awal kita keluar dari bingkai ibadah, sehingga melenakan hati dan terbawa angan tak bermakna. Bersikap wajar dalam menuju pernikahan. Biarkan semuanya berjalan secara alamiah. Jika telah tiba masanya yakinlah kita pun akan melalui. Wallahu alam bi showab.
"ya Allah, jadikanlah aku ridho terhadap apa-apa yang Engkau tetapkan dan jadikan barokah apa-apa yang telah Engkau takdirkan, sehingga tidak ingin aku menyegerakan apa-apa yang engkau tunda dan menunda apa-apa yang Engkau segerakan, Amiin;"