Sebutir Peluh dan Setetes Airmata


Lelaki itu duduk termenung di halte bus yang dipadati oleh para pedagang asongan. Dia tak sedang menunggu bus untuk pergi ke suatu tempat, tapi hanya sejenak berteduh dari sengatan matahari. Gaduh suara anak-anak pengasong tampaknya tak mengusik lamunannya.

Matanya sedikit terpejam. Di pelipisnya butiran-butiran keringat menyemai bak cendawan tumbuh di atas jerami. Angin panas datang dari belakang punggungnya. Dinding batu telah memantulkan angin dari atas berikut hawa panas yang diserapnya. Jadilah ia seperti napas yang keluar dari lubang hidung seekor naga.

Deru napas lelaki itu mereda, lalu kepalanya terkulai ke belakang dan tersandar di tiang halte. Dia tertidur. Ada tas hitam menggelembung diselempangkan di kiri bahunya. Dan sebuah kantung plastik yang juga hitam di tangan kanannya.

Sebutir peluh bergulir dari pelipis dan jatuh di pipi. Pada saat yang sama, setetes airmata merembes dari sudut matanya dan mengalir ke pipi. Lalu bertemulah dua cairan yang serupa belaka tapi berbeda sumber berlainan makna, di muara putus asa.
***

Peluh : "Salam wahai saudaraku, Airmata. Tak dinyana hari ini kita bisa jumpa. Setelah sekian lama tak bertemu, kabar apakah yang kau bawa untukku?"

Airmata : "Salam juga saudara Peluh. Pastilah engkau sudah dapat menerka ada apa kiranya. Sebagaimana lazimnya, aku ada saat hati tuan kita sedang duka. Kadang pula menitik saat dia bahagia. Tapi itu sudah sangat lama tak terjadi padanya."

Peluh : "Ada apa dengan tuan kita? Bisakah kau bercerita padaku? Aku tahu dari beliau bahwa engkau lebih banyak keluar di malam hari. Sedangkan aku di siang hari, saat raganya terpanggang matahari atau ketika pikirannya kacau."

Airmata : "Betul, Peluh. Aku memang lebih sering keluar saat malam hari. Saat tuan kita khusyu dalam do'a-do'anya, dia menangis memanggil namaNya. Mengadukan nasib pahitnya di keheningan sepi di sepertiga malam."

Peluh : "Ya Tuhan, ternyata jumlahku yang banyak terkuras di siang hari tak sebanding dengan nilaimu, wahai Airmata. Engkau begitu dicintai oleh Tuhan kita. DIA sangat senang melihat hambaNya bersimpuh dan menangis mengadukan segala keluh kesah. Semakin banyak kau mengalir karena cinta tuan kita untukNya, akan semakin sayang DIA padanya. Tapi kesulitan apa yang kerap dia keluhkan pada Tuhan?"

Airmata : "Tidakkah engkau sudah mengetahuinya? Tiadalah siang-siangnya dilalui tanpa keberadaanmu. Tak terhitung detik, menit, jam, dan hari yang telah dihabiskannya berjalan ke sana ke mari mencari rizki Tuhan. Mencoba melamar pekerjaan, mengadu peruntungan, menjajakan dagangan, menawarkan jasa. Namun hingga kini belum satu jua ikhtiarnya yang membuahkan hasil. Lamarannya ditolak, tawarannya ditampik, jasanya tak dibutuhkan kecuali tanpa imbalan."

Peluh : "Oh, sungguh mengenaskan! Aku memang selalu setia menemaninya di setiap gerak langkahnya. Utara, Selatan, Barat, Timur, segala penjuru mata angin ditempuhnya, berjalan kaki di bawah udara yang menyiksa. Kusimbah tubuhnya dengan cairanku agar kulitnya tak mengering. Tapi selebihnya aku tak tahu."

Airmata : "Tuan kita adalah orang yang baik. Meskipun hari-harinya tak menentu dan keadaan penuh ketidakpastian, tak sedikit pun dia menyalahkan Tuhan. Bahkan tak pernah kering mulutnya daripada menyebut namaNya. Kasih dan keagunganNya tak luntur dari kalbunya, meski hidupnya terombang-ambing. Kiranya Tuhan tengah mengujinya."

Peluh : "Adakah tuan kita pernah menyebutkan tentang isterinya dalam do'anya? Pernahkah dia mengeluhkan perilaku isterinya? Isteri yang baikkah ia?"

Airmata : "Pernah. Bahkan kerap tuan kita menyebut-nyebut isterinya. Ternyata ia isteri yang baik lagi shaleh. Dalam do'anya, sering tuan kita memohon kepada Tuhan agar isterinya diberi ketegaran dan kekuatan iman. Dilapangkan dadanya dalam kesabaran menerima musibah ini. Tuan kita sangat berterima kasih pada Tuhan bahwa telah dipilihkan pasangan yang setia berpegangan saat suka dan tetap bergandengan kala duka. Anugrah terbaik yang Tuhan pilihkan buat dia."

"Tahukah engkau, wahai Peluh, bahwa ada waktu tertentu di mana tuan kita tak ingin menumpahkan airmatanya? Sekuat tenaga dia hambat aku untuk tak keluar dari kelenjarnya. Tahukah engkau?"

Peluh : "Kapankah itu saudaraku?"

Airmata : "Saat isterinya mencium punggung tangannya dan menghiburnya ketika dia kembali ke rumah dengan tangan hampa. Tak bisa kulukiskan galau di wajah tuan kita yang tertunduk lesu. Tak ada kata yang terucap. Mulutnya kelu, hanya sanggup menghela napas. Coba menelan ludah yang mengkristal dan terasa getir. Segetir nasibnya."

"Lalu sang isteri menghampirinya dan berujar : Bersabarlah kakanda. Mungkin Tuhan menilai belum cukup kuat upaya kita, belum cukup gigih perjuangan kita. Belumlah terlalu panjang malam-malam yang kita habiskan bersama dalam tahajjud. Belumlah terlalu lama kita benamkan wajah dalam sujud. Belumlah cukup do'a dan dzikir kita, meskipun entah sudah berapa ribu kali kita lafadzkan. Sehingga Tuhan masih enggan membuka pintu rizki kita. Bersabarlah sayang..."

"Tuhan kita tidak tidur dan tidak tuli. DIA Maha Mendengar. Mungkin DIA menyimpan rizki itu untuk suatu akhir yang sempurna. Atau mungkin DIA sembunyikan rahmatNya disela-sela dedaunan dalam taman firdaus yang menanti kita."

Peluh : "Sungguh isteri yang luar biasa!"

Airmata : "Tak kuasa tuan kita menahan guncangan di dadanya.
Hatinya ingin meledak mengucapkan syukur sekali lagi pada Tuhan atas anugerah terindah itu. Sejuta terima kasih tiadalah akan memadai. Takkan sebanding untuk karunia itu. Dipeluk kekasih hatinya. Ditahannya airmata agar tak tertumpah."

"Dia tak ingin benteng ketegaran isterinya runtuh manakala melihat linangan airmatanya. Dia malu pada dirinya. Dia merasa seharusnya dia lebih kuat dari isterinya. Untuk itu, buat apa airmata? Hanya akan memadamkan semangat!"

"Tapi tanpa seorang pun tahu, di malam harinya, dia tumpahkan airmata dihadapan Rabb-nya. Basah janggutnya, basah sajadahnya, banjir airmata. Dia tenggelam dalam ratapan panjang : Ya Tuhan, jangan Kau tinggalkan kami! Cintailah kami sebagaimana kami mencintaiMu. Biarlah aku tak punya harta asalkan isteriku selalu setia. Dialah perhiasan rumah ini, mahkota di jiwaku. Eratkanlah cinta kami, ya Rahman. Satukanlah kami selalu, ya Rahim. Aku ikhlas menerima cobaanmu, aku pasrah menjalani musibah ini. Tapi jangan jauhkan diriMu dari kami, ya Salaam."

Peluh : "Andaikan aku adalah engkau, maka aku pun akan senantiasa tertumpah demi kudengar kemuliaan hati isteri tuan kita."

Airmata : "Aku pun yakin bahwa setiap cairanmu yang mengalir tiadalah akan sia-sia. Setiap butiran keringat laki-laki yang keluar mencari rizki semata-
mata karena DIA, maka diharamkan api neraka menyentuh tubuhnya."

Peluh : "Kalau begitu, marilah kita bersama berdo'a pada Tuhan semoga kiranya pintu rizki dibukakan untuk tuan kita dan isterinya."

Airmata : "Dan kekalkanlah cinta mereka dalam tangis dan tawa, dalam ada dan tiada, dalam lapang dan sempit, dalam naungan cintaMu, ya Rabb. Aamiin..."
***

Asap hitam yang menyembur dari knalpot Metromini membangunkan lelaki itu. Dia tergagap sejenak. Lalu dia bertanya pada orang di sebelahnya, jam berapa sekarang? Ternyata ashar sudah tiba. Sayup terdengar adzan berkumandang. Dia memandang sekeliling untuk mecari sumber suara, lalu berjalan ke arahnya.

Tas hitam diselempangkan di bahu kirinya. Ada tas plastik yang juga hitam di tangan kanannya. Tas itu menggelembung karena dagangan masih banyak. Ada sandal jepit, gunting, pisau, sarung remote, dan yang lainnya. Dia menawarkan dagangannya dari pintu ke pintu. Tapi sedari pagi belum satu pun pembeli dia dapat.

Langkahnya sedikit limbung, lututnya gemetar. Dia terus berjalan. Dia tetap bersabar. Dia tak ingin berhenti. Karena di dadanya selalu ada senyum. Senyum sang kekasih hati, yang menanti kakanda kembali.

Sebutir peluh dan setetes airmata jatuh di trotoar. Menguap tersengat panas. Menjadi kabut di angkasa. Namun gema do'anya terdengar sampai ke syurga.

 Penulis : Muhammad Fadlan
Copyright : KotaSantri.com
 
Copyright © 2014 Share In Love - All Rights Reserved
Template By. Catatan Info