"Seorang wanita membutuhkan telinga untuk didengarkan dan diperhatikan." Kira-kira seperti itu John Gray pernah menuliskan dalam buku terkenalnya "Man are from mars, Women are from venus". Dimana seorang perempuan memiliki kecenderungan selalu ingin banyak bicara untuk mengeluarkan luapan emosinya. Setelah itu ia merasa memerlukan telinga tambahan untuk menampung keluh kesah curahan hatinya.
Jadi, tidak salah pula rasanya jika beberapa hari yang lalu salah seorang sahabat, menghubungi saya untuk mengeluarkan tumpukan emosinya. Di sela obrolan, sesekali keluar nada kekesalan "Benci! Sebel! Nyebelin!" Dari percakapan yang tertangkap, sahabat saya sedang merasa disakiti hatinya oleh seseorang. Sebagai si pendengar, saya berusaha untuk menjadi telinga yang baik baginya. Mendengarkan seksama kisah kekesalannya, sambil sesekali berusaha menyisipkan kata-kata hiburan penghilang rasa kesal. "Hati terkoyak tidak akan bisa pulih!" Entah bercanda atau tidak, kira-kira kesimpulan akhir seperti itu yang saya tangkap di akhir pembicaraan.
Begitu sensitifkah hati seorang wanita? Tidak, bukan hanya sahabat di atas, rasanya saya pun pernah pula merasakan hati terkoyak. Merasa sakit hati, dilecehkan, ataupun dikhianati oleh seseorang. Yang semua itu membuat perihnya hati bagai disayat sembilu. Terkadang pula, beban hati terkoyak ini saya simpan sampai berlarut-larut hingga berbuntut pada kebencian. Sebuah kesimpulan yang malah merugikan diri sendiri, mengotori hati.
Hingga suatu hari, ketika saya masih sering dilanda penyakit hati, seorang sahabat bertanya, "Siapa sebenarnya pemilik hati? Kenapa kita selalu egois merasa memiliki hati?" Diberi pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu, saya sedikit kaget. Pertanyaan yang selama ini tidak pernah ada dalam benak sama sekali. "Hati? Saya pemilik hati? Saya egois?" Pikiran mulai berkecamuk. Tidak, saya buka sang pemilik hati sebenarnya. Ia merupakan pinjaman sebagai garansi hidup saya di dunia. Yang suatu saat dapat diambil Sang Pemilik Abadi, Allah SWT dan saya harus mempertanggungjawabkannya. Lalu kenapa begitu egoisnya saya? Merasa berhak untuk membebani hati sesuai dengan perasaan sendiri yang justru mengotori hati.
Begitu kecilnya hati ini, terkalahkan oleh rasa egois. Lupa akan hakekat kepemilikan hati yang hakiki. Bukankah hati itu ibarat cermin. Bila hati itu bersih, ia dapat memantulkan bayangan diri yang bersih. Cermin yang bersih akan dengan jujur menampilkan kecantikan dari dalam si pemiliknya. Sebaliknya, bila hati itu kotor, ia akan memantulkan bayangan diri yang buram. Hati yang kotor akan tercermin dari perilaku buruk si pemiliknya.
Saya mulai melatih menata hati. Berusaha untuk bersabar meredam semua rasa yang akan mengotorinya. Awalnya tentu bukan hal yang mudah. Terkadang saya masih terpenjara pada sifat sensitif seorang wanita. Namun ada satu kisah yang selalu menguatkan diri.
Yakni kisah tentang Abu Bakar Shiddiq RA saat rumahnya dikunjungi oleh Rasululah SAW. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datang seorang perempuan tua mendatangi Abu Bakar Shiddiq dengan cacian dan sumpah serapahnya. Mendengar hal tersebut, Abu Bakar berusaha bersabar, tak menggubris. Merasa tak digubris, perempuan tua makin ketus dengan makian. Hingga akhirnya Abu Bakar ikut kesal dan memaki balik perempuan tua. Melihat hal itu Rasulullah SAW yang berada di sampingnya, tanpa mengucapkan salam, langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Tentu saja Abu Bakar terkejut, lansung mengejar beliau sambil bertanya kenapa pergi tanpa sempat pamit mengucapkan salam.
Rasulullah SAW sejenak menatap Abu Bakar, lalu berkata, "Ya Abu Bakar, ketika engkau bersabar menghadapi cacian perempuan itu, beribu malaikat datang di dekatmu, tersenyum bangga, dan berusaha membelamu di hadapan Allah SWT, hingga aku pun merasa senang di dekatmu. Namun ketika engkau mencaci balik perempuan itu, seketika semua malaikat yang berada di dekatmu pergi, digantikan oleh syaitan yang mengelilingimu, hingga aku pun merasa tidak senang berada di sana dan tidak ingin mengucapkan salam pada syaitan."
Subhanallah, begitu besarnya arti menjaga hati. Tanpa disadari semua cacian dan hinaan justru akan mendatangkan beribu kebaikan. Ia akan menjadi pelebur dosa. Pun para malaikat menjadi tameng pembela, hingga derajat kita dapat naik di mata Allah SWT.
Hati, ia dapat berubah menjadi apa saja sesuai dengan sang pemilik yang dititipi amanah. Ia dapat menjadi sesuatu yang mudah koyak, terbelah, hancur berkeping-keping. Atau dapat pula menjadi sesuatu yang indah bercahaya, bermanfaat, kuat menahan hempasan hingga tak mudah koyak.
Sebagai hamba Allah, tentu saya tak ingin memiliki hati yang mudah koyak. Tak ingin pula terbiasa mencari telinga tambahan untuk menampung keluh kesah. Saya ingin memiliki hati kuat yang bermanfaat. Laksana pohon yang berbuah lebat. Jika ada orang yang melempar batu, akan membalas dengan melemparkan buah yang ada. Buah lebat berupa akhlak mulia. Mungkin akan terasa sulit dan tak semudah yang diperkirakan.
Semoga Sang Pemilik hati memberikan kekuatannya agar diri ini dapat terus berlatih, memiliki kelapangan sebuah hati yang tak mudah terkoyak. Insya Allah. Semoga.....
Jadi, tidak salah pula rasanya jika beberapa hari yang lalu salah seorang sahabat, menghubungi saya untuk mengeluarkan tumpukan emosinya. Di sela obrolan, sesekali keluar nada kekesalan "Benci! Sebel! Nyebelin!" Dari percakapan yang tertangkap, sahabat saya sedang merasa disakiti hatinya oleh seseorang. Sebagai si pendengar, saya berusaha untuk menjadi telinga yang baik baginya. Mendengarkan seksama kisah kekesalannya, sambil sesekali berusaha menyisipkan kata-kata hiburan penghilang rasa kesal. "Hati terkoyak tidak akan bisa pulih!" Entah bercanda atau tidak, kira-kira kesimpulan akhir seperti itu yang saya tangkap di akhir pembicaraan.
Begitu sensitifkah hati seorang wanita? Tidak, bukan hanya sahabat di atas, rasanya saya pun pernah pula merasakan hati terkoyak. Merasa sakit hati, dilecehkan, ataupun dikhianati oleh seseorang. Yang semua itu membuat perihnya hati bagai disayat sembilu. Terkadang pula, beban hati terkoyak ini saya simpan sampai berlarut-larut hingga berbuntut pada kebencian. Sebuah kesimpulan yang malah merugikan diri sendiri, mengotori hati.
Hingga suatu hari, ketika saya masih sering dilanda penyakit hati, seorang sahabat bertanya, "Siapa sebenarnya pemilik hati? Kenapa kita selalu egois merasa memiliki hati?" Diberi pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu, saya sedikit kaget. Pertanyaan yang selama ini tidak pernah ada dalam benak sama sekali. "Hati? Saya pemilik hati? Saya egois?" Pikiran mulai berkecamuk. Tidak, saya buka sang pemilik hati sebenarnya. Ia merupakan pinjaman sebagai garansi hidup saya di dunia. Yang suatu saat dapat diambil Sang Pemilik Abadi, Allah SWT dan saya harus mempertanggungjawabkannya. Lalu kenapa begitu egoisnya saya? Merasa berhak untuk membebani hati sesuai dengan perasaan sendiri yang justru mengotori hati.
Begitu kecilnya hati ini, terkalahkan oleh rasa egois. Lupa akan hakekat kepemilikan hati yang hakiki. Bukankah hati itu ibarat cermin. Bila hati itu bersih, ia dapat memantulkan bayangan diri yang bersih. Cermin yang bersih akan dengan jujur menampilkan kecantikan dari dalam si pemiliknya. Sebaliknya, bila hati itu kotor, ia akan memantulkan bayangan diri yang buram. Hati yang kotor akan tercermin dari perilaku buruk si pemiliknya.
Saya mulai melatih menata hati. Berusaha untuk bersabar meredam semua rasa yang akan mengotorinya. Awalnya tentu bukan hal yang mudah. Terkadang saya masih terpenjara pada sifat sensitif seorang wanita. Namun ada satu kisah yang selalu menguatkan diri.
Yakni kisah tentang Abu Bakar Shiddiq RA saat rumahnya dikunjungi oleh Rasululah SAW. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba datang seorang perempuan tua mendatangi Abu Bakar Shiddiq dengan cacian dan sumpah serapahnya. Mendengar hal tersebut, Abu Bakar berusaha bersabar, tak menggubris. Merasa tak digubris, perempuan tua makin ketus dengan makian. Hingga akhirnya Abu Bakar ikut kesal dan memaki balik perempuan tua. Melihat hal itu Rasulullah SAW yang berada di sampingnya, tanpa mengucapkan salam, langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Tentu saja Abu Bakar terkejut, lansung mengejar beliau sambil bertanya kenapa pergi tanpa sempat pamit mengucapkan salam.
Rasulullah SAW sejenak menatap Abu Bakar, lalu berkata, "Ya Abu Bakar, ketika engkau bersabar menghadapi cacian perempuan itu, beribu malaikat datang di dekatmu, tersenyum bangga, dan berusaha membelamu di hadapan Allah SWT, hingga aku pun merasa senang di dekatmu. Namun ketika engkau mencaci balik perempuan itu, seketika semua malaikat yang berada di dekatmu pergi, digantikan oleh syaitan yang mengelilingimu, hingga aku pun merasa tidak senang berada di sana dan tidak ingin mengucapkan salam pada syaitan."
Subhanallah, begitu besarnya arti menjaga hati. Tanpa disadari semua cacian dan hinaan justru akan mendatangkan beribu kebaikan. Ia akan menjadi pelebur dosa. Pun para malaikat menjadi tameng pembela, hingga derajat kita dapat naik di mata Allah SWT.
Hati, ia dapat berubah menjadi apa saja sesuai dengan sang pemilik yang dititipi amanah. Ia dapat menjadi sesuatu yang mudah koyak, terbelah, hancur berkeping-keping. Atau dapat pula menjadi sesuatu yang indah bercahaya, bermanfaat, kuat menahan hempasan hingga tak mudah koyak.
Sebagai hamba Allah, tentu saya tak ingin memiliki hati yang mudah koyak. Tak ingin pula terbiasa mencari telinga tambahan untuk menampung keluh kesah. Saya ingin memiliki hati kuat yang bermanfaat. Laksana pohon yang berbuah lebat. Jika ada orang yang melempar batu, akan membalas dengan melemparkan buah yang ada. Buah lebat berupa akhlak mulia. Mungkin akan terasa sulit dan tak semudah yang diperkirakan.
Semoga Sang Pemilik hati memberikan kekuatannya agar diri ini dapat terus berlatih, memiliki kelapangan sebuah hati yang tak mudah terkoyak. Insya Allah. Semoga.....
Penulis : Lizsa Anggraeny
Copyright: KotaSantri.com