Kanduri Mo'lot

Sebelum kita lanjutkan  mengenai kenduri Mo’lot , kita coba   untuk mencoba memahami apa pengertian dan makna dari kenduri dikalangan orang Aceh, Kata kenduri konon berasal dari bahasa india  yang artinya sama dengan sedekah atau dikalangan orang Jawa disebut slamaten atau hajat yang tujuan memperoleh berkah dan keselamatan serta pahala dari Allah swt.

Kegiatan ini berupa menyanjikan  makanan untuk dinikmati  dengan tujuan bersifat keagamaan. Orang melakukannya dengan alasan yang berbeda, misalnya  acara perkawinan, sunatan yang membawa kegembiraan, bahkan mengenang kematian seseorang. Hukum Islam tidak melarangnya bahkan menganjurkan pada setiap perayaan itu sifat-sifat keagamaan tidak  hilang. Tidak boleh ada hiburan atau permainan yang terlarang menurut agama, termasuk memakai pakaian yang menyolok, Acara ini dalam islam menyebutnya sebagai acara walimah. Undangan di utamakan kaum dhuafa, fakir miskin, yatim piatu  dan para pemuka agama, seperti Leube  dan Teungku  atau dhuafa yang dapat digolongkan sebagai  orang  yang tidak mampu.

Dalam memperingati hari kematian, misalnya  hari ke 3, ke 7, dan hari ke 40 dan seterusnya, senantiasa diadakan kenduri terutama dikalangan orang yang mampu. Acara ini didahului dengan pembacaan Al-Quran, dilanjutkan dengan pembacaan doa agar orang sudah meninggal  itu mendapat tempat yang baik disisi Allah swt. Di ujung acara  acapkali dilakukan pembacaan zikir “like” sebagai hiburan
Dimasa lalu kenduri serupa juga dilakukan orang pada kuburan orang yang dipandang suci atau keramat. Cilakanya tujuan semula untuk memohon doa agar kepada orang yang dipandang tokoh  itu lama kelamaan dijadikan alat sebagai meminta berkah kepada arwah tokoh  dan memujanya  dan kenduri dianggap sebagai persembahan atau sesajen kepada arwah tokoh itu. Tujuan semula berubah menjadi hal terlarang dalam agama. Perbuatan seperti yang kita sebutkan tadi masa sekarang sudah jarang ditemukan. Kenduri yang paling sederhana dilakukan orang  dengan tujuan untuk mendapat kebaikan, keselamatan, syukuran, keberhasilan usaha, luput dari bahaya, sekarang dilakukan dengan doa selamat dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang  teungku atau salah seorang yang hadir. Jenis kenduri ini di Jawa disebut Slametan, yang terkadang menjadi rancu pengertian sehari-hari. Kata kenduri di Aceh dipakai dalam arti semua kegiatan  seperti yang kita sebutkan diatas.

Adapun Perayaan Mo’lot “Maulid” di Aceh dilakukan secara meriah tapi khidmat. Berbeda dengan kenduri memperingati genap hari kematian seseorang, yang hanya dihadiri oleh orang yang diundang saja akan tetap kenduri mo’lot sebaliknya dapat dihadiri oleh siapa saja.
Pada masa lalu perayaan maulid  yang dikalangan orang Aceh tidak saja dilaksanakan secara bersama di Meunasah pada masing-masing gampong, akan tetapi juga dilakukan secara persorangan, dengan mengundang sejumlah kerabat dekat baik sekampung maupun dari luar kampungnya untuk datang kerumah yang punya hajat menikmati sajian makanan. Berbagai makanan terutama nasi dengan lauk pauk yang lengkap, mulai daging dan ikan yang telah dimasak disajikan untuk para tetamu. Berbagai buah-buahan turut dihidangkan.

Kawan-kawam se-mukim dari gampong-gampong lain adalah tamu seluruh gampong dan mereka sebelumnya diundang resmi oleh seorang utusan keucik. Undangan resmi “meu uroh” untuk khanduri biasanya dilakukan dengan menyerahkan apa yang dinamakan ranub bate (sirih di dalam cerana) yakni sebuah pinggan kecil dari tembaga dengan taplak yang bagus. Dalam bate itu selain sirih hanya ada pinang dan  keperluan lain untuk makan sirih. Kalau yang di undang kanduri ada orang-orang terkemuka seperti tuanku, atau ulee baling. maka penyerahan simbolis tadi tidak dilakukan dengan bate biasa tetapi dalam sebuah tempat sirih “karaih” yang lebih berharga. Sebelum kanduri mo’lot, undangan resmi hanya diberikan kepada rombongan gampong yang di undang, biasanya gampong berdekatan dalam satu  mukim, keucik, teungku dan para sesepuh gampong, tetapi undangan itu dianggap meliputi segenap penduduk.Makanan disiapkan oleh semua kepala keluarga,pada hari yang ditentukan, masing masing sedapat mungkin membawa idang ke meunasah. Idang linto (idang mempelai laki-laki), idang peujamee yang disajikan kepada tamu pada kunjungan adat tertentu, dan  idang mo’lot hampir tidak berbeda.
Sering penduduk gampong berlomba-lomba dalam menyajikan idang yang mahal sehingga penduduk gampong harus menetapkan batas-batas. Oleh sebab  daging, yang jarang dimakan orang Aceh pada hari-hari biasa, harus ada pada idang mo’lot, maka kanduri didahului oleh penyembelihan hewan. Penyembelihan umum seperti itu hanya dilakukan pada hari-hari terakhir bulan ke 8 dan bulan ke 9 dan dalam skala kecil pada perayaan besar, pemberian kurban pada hari ke 10 bulan ke 12. Tidak lupa menyediakan sirih untuk sesudah makan.

Biaya suatu idang pada masa  pendudukan Belanda  kata Snouck Hugronje sekitar empat dolar sehingga keluarga yang kurang mampu dapat bergabung berdua, bertiga atau berempat untuk menyajikan satu idang. Selain tamu gampong, setiap penduduk gampong masih mempunyai tamu masing-masing. Yakni anggota keluarga yang tinggal di tempat lain dan ingin menghadiri kanduri itu. Mereka datang tanpa diundang, karena menurut adat kanduri mo’lot yang diadakan oleh keluarga mereka, boleh mereka anggap sebagai kanduri sendiri. Para tamu biasanya berkumpul di meunasah sebelum tengah hari, dan selalu di waktu siang, teungku dan beberapa leube sudah datang lebih dahulu sebab mereka harus mengisahkan riwayat mo’lot dan zikir. Pembacaan itu di Aceh dinamakan meulike, seperti di Jawa disebut orang zikir maulid.
Menurut Snouck Hugronje dalam bukunya The Achenes (terjemahan), kitab rujukan yang dipakai dalam  perayaan Mo’lot ialah yang terbitkan di Kairo oleh Hasan at Tokhi Ahmad dalam bentuk lithografi indah, ditambah sejumlah doa-doa lain yang biasa dipakai dalam perayaan atau peringatan yang bersifat agama. Dua diantaranya ialah prosa yang dibawakan seperti syair dan kadang-kadang diselingi dengan lagu pujian dalam irama sajak. Salah satu digubah oleh Bukhari dan yang lain oleh Ja’far al Barzanji. Yang satu seluruhnya dalam irama sajak dan namanya diambil dari nama pengubahnya (Barzanji). Ketiga-tiganya biasa dipakai di Aceh; gubahan Bukhari biasanya pada khanduri resmi suatu gampong. Namanya Maulid sharafi I-anam dan di Jawa disebut Sarapulanam, di Aceh” Istilah ini sudah jarang digunakan, orang sudah terbiasa  menyebutnya dengan like molot (zikir maulid).

Selain bulan Maulid di Aceh khususnya di kawasan di sekitar pinggiran kota digampong Gampong pada malam Jumat masih terdapat pembacaan zikir khairat dengan zikir. Zikir berupa pembacaan  doa dan selawat dalam bahasa Arab, sementara like dalam bentuk syair dalam bahasa Aceh. Like dipimpin oleh seorang yang membacakan syair atau disebut sebagai pembawa lagu “radat” Kemudian di ikuti oleh anggota yang lain.Acara ini berlangsung sampai tengah malam. Para hadirin ikut mendengar dan sekali-kali ikut bersama menyanyikan irama yang dinyanyikan. Para anak gadis hadir secara sembunyi-bunyi dibawah meunasah, Mereka hanya  mendengar saja. Jika dimasa lalu syair yang dinyanyikan lebih mengaraha  ke irama padang pasir kini berubah ke irama India terutama meniru irama lagu dari film Bollywood. Jika ditilik dari asal usul  lagu itu dinyanyikan dalam film kadang-kadang berupa  irama lagu pemujaan kepada dewa, namun itu bukan hal yang dipermasalahkan.
Sisi negatif dari  kegiatan dalail khairat, kegiatan semula sebagai sarana untuk berzikir orang di gampong.yang semula hikmat dan kemudian menyamopaikan pesan moral melalui like berubah menjadi suasana yang kurang harmonis dengan para tetangga  yang dekat dengan meunasah. Jika dahulu acara ini berlangsung tanpa menggunakan alat pengeras suara dan berlangsung sampai tengah malam, tidak mengusik ketentraman orang. Kini keadaan menjadi terbalik karena kegiatan itu dirasakan oleh sebahagian orang mengganggu ketentraman meraka yang bertempat tinggal dekat dengan meunasah. Akan tetapi tidak ada anggota masyarakat yang  berani memprotesnya, karena mareka takut bila berhadapan dengan anak-anak muda gampong.

Perkembangan kemudian terutama di pinggiran kota, setiap setengah jam menjelang sholat wajib pengurus meunasah menghidupkan alat pengeras suara dengan volume yang besar, kemudian memutar kaset pengajian. Dapat  bagaimana bisingnya suara itu dan sudah barang tentu  sangat mengganggu ketentraman warga yang berdekatan dengan meunasah. Tidak ada orang yang berani melakukan protes, karena orang takut akan dicap sebagai anti islam. Orang yang kita tanyai akan menjawab, mereka tidak keberatan dalail khairat sama sepertinya dengan memutar rekaman pengajian di meunasah. Akan tetapi jangan menggunakan larut malam apalagi memakai alat pengeras suara yang sederhana  dengan volume yang besar, tentu saja menghasikan suara yang bising.
Dimasa lalu acara perayaan kanduri mo’lot ditutup oleh doa yang panjang yang dilakukan pada akhir acara yang disebut “ Carapha anam”. Sementara itu penduduk gampong sudah datang dan mereka yang tidak kebagian tempat di meunasah akan duduk di balai atau rumah didekatnya. Selagi para leube atau Teungku mengumandangkan qasidah, orang berkerumun disekeliling dan memanfaatkan  waktu untuk sambil membuat beberapa simpul potongan benang hitam dan sambil mereka mengikuti irama kasidah mareka membuat beberapa simpul. Benang yang sudah diberi simpul tadi dibelitkan di leher anak-anak mereka karena percaya bahwa itu adalah jimat yang amat baik.

Keadaan seperti itu juga dilakukan oleh orang Di jawa dan sudah menjadi kebiasaan bahwa waktu pembacaan riwayat mo’lot ada yang memulai suatu pekerjaan, misalnya membuat mata jala ulan dengan tusukan atau simpul pertama, membuat pinggir suatu jahitan dan lain-lain. Di Keraton Jogya perayaan mo’lot “mauludan” dilakukan dalam sebuah acara yang disebut Sekaten  sebagai upacara kerajaan. Tetapi di Aceh hal ini tidak dilakukan orang; memang nelayan senang sekali untuk memulai membuat jala (jeu, nyareng atau pukat) pada hari jum’at, sambil duduk dipintu masuk mesjid sedang mereka yang saleh memasuki mesjid duduk dipintu masuk mesjid mengikuti sembahyang jum’at.

Sesudah mendoa para penduduk gampong dan tamu mereka mulai makan. Di jawa menjadi kebiasaan, bahwa sesudah mendoa dan makan selesai, sisa makanan dibawa pulang kerumah, tapi tidak demikian halnya di Aceh, sisa idang dibagikan kepada yang hadir untuk dibawa pulang.

Orang-orang kaya kadang mengadakan kanduri mo’lot sendiri dirumah mereka, tetapi ini dilakukan pada hari yang berbeda dengan kanduri gampong, biasanya tanggal 12, yang jarang dipilih untuk perayaan umum. Kanduri mo’lot yang besar dan istimewa masa lalu di adakan dekat makam Teungku Anjong di gampong  Peulanggahan. Pada kesempatan itu disembelih seekor kerbau atau lebih, orang–orang berkumpul di Deah untuk makan bersama, para ulama, dan teungku juga ikut menikmatinya, selain itu kepada  penjaga malam (juru kunci) mengirimkan daging kepada mereka. Kepercayaan yang umumnya ditemui di Jawa dan di daerah lain di nusantara bahwa suatu pekerjaan penting tidak boleh dimulai sebelum hari ke 12 mo’lot, tidak di jumpai  di Aceh.

Seluruh bulan itu dianggap cocok sekali untuk perkawinan,sunatan, dan lain-lain. Mengenai bulan berikutnya, Adoe mo’lot (rabiu al akhir) dan Mo’lot seuneulheueh (jumadi’l awal) tidak banyak bedanya dengan uraian diatas. Juga dianggap baik untuk perayaan (pesta) dan lain-lain, tetapi tidak ada pilihan tertentu. Akan tetapi keyakinan memilih hari ini masih di ikuti oleh seluruh orang Aceh dalam melakukan sesuatu peristiwa penting dalam keluarga.

Kelanjutan dari artikel ASAL PERAYAAN MO’LOT

Sumber:
1.menulusuri perang Salib (terjemahan)  Http;//wahayu wordpres.-com)
2.Snouck Hugronje dalam bukunya  The Achenes (terjemahan).
3.Sumber2 lainnya.


 
Copyright © 2014 Share In Love - All Rights Reserved
Template By. Catatan Info