Kartono Mohamad |
Jusuf Ronodipuro, seorang pejuang dan pelopor Radio Republik Indonesia, meninggal beberapa tahun lalu akibat kanker paru-paru. Beliau adalah perokok berat. Menurut cerita puteranya, Bapak Darmawan Ronodipuro, almarhum mengakui bahwa perokok itu orang yang egois. Tidak memikirkan kepentingan orang lain, termasuk kesehatan keluarganya. Oleh karena itu beliau meninggalkan pesan agar puteranya jangan merokok. Kalau sudah terkena penyakit, harta dan ketenangan keluarga terpaksa harus dikorbankan untuk mengobati penyakit yang diakibatkan oleh egoisme si perokok.
Bahwa kebiasaan merokok lebih banyak mudharatnya daripada maslahatnya sudah diketahui oleh kalangan kedokteran sejak abad ke-18. Tetapi kepentingan bisnis yang banyak membawa keuntungan membuat industri rokok di mana pun juga akan berjuang mati-matian agar dagangannya tidak dihambat. Kalau perlu dengan berbohong atau bersikap munafik.
Mahkamah Agung di Washington pernah memvonis bahwa para CEO industri rokok telah melakukan pembohongan publik karena tidak berterus terang tentang bahaya rokok kepada konsumennya. Sejak itu antara Kongres Amerika dengan industri rokok dicapai kesepakatan mengenai Mutual Settlement Agreement. Artinya, konsumen berhak menuntut pabrik rokok jika ia terkena penyakit akibat rokok. Ganti rugi yang terbesar yang pernah diputuskan oleh sebuah pengadilan negara bagian untuk seorang korban rokok mencapai tiga juta dolar AS.
Sejak itu industri rokok Amerika merasa gerah untuk berbisnis di negerinya sendiri. Mereka berekspansi ke negara berkembang, dengan bantuan diplomasi pemerintah Amerika sendiri (!). Bagi Pemerintah Amerika mungkin berlaku dalil “jangan racuni rakyat Amerika sendiri, tapi racunilah rakyat negara berkembang”. Maka ketika konsumsi rokok dalam negeri menurun sebesar 20 persen, eskpor rokok mereka ke negara berkembang meningkat 300 persen.
Dapat dimengerti ketika dunia melalui WHO sepakat untuk mengatur konsumsi rokok untuk menekan meningkatnya penyakit tidak menular (Non Communicable Diseases), Pemerintah AS (Presiden Bush) menolak untuk ikut menanda tanganinya. Mereka mengatakan biarlah masalah kesehatan diatur oleh masing-masing negara. WHO tidak usah ikut campur. Ironisnya, di dalam negerinya sendiri peredaran rokok diatur secara ketat. Sekali lagi terbukti bahwa kepentingan diri sendiri lebih diutamakan.
Sikap egois perokok juga muncul ketika pecandu rokok tetap merokok di tempat-tempat umum meskipun orang di sekitarnya berkeberatan. Bukannya merasa salah, ia justru akan marah kalau ditegur. Sikap beradab pecandu rokok sudah menurun. Dia hanya takut kalau di berada di negeri orang. Sikap egois juga terdapat pada para ulama yang perokok lalu tidak mau mendengarkan pendapat bahwa merokok lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Boleh saja ia tidak mau berhenti merokok, tetapi membiarkan para santrinya merokok adalah sama dengan menjerumuskan mereka ke penyakit-penyakit yang mahal pengobatannya.
Contoh bahwa perokok adalah orang egois adalah ucapan salah seorang anggota Perlemen Daerah Makassar, Yusuf Gunco yang juga Ketua Badan Legislasi Parlemen Daerah, yang menolak membahas rancangan peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Kesehatan, hanya karena ia sendiri perokok. Demi agar kenikmatannya tidak terganggu, ia lebih senang membiarkan rakyatnya tidak terlindungi dari asap rokok orang lain.
Bahwa kebiasaan merokok lebih banyak mudharatnya daripada maslahatnya sudah diketahui oleh kalangan kedokteran sejak abad ke-18. Tetapi kepentingan bisnis yang banyak membawa keuntungan membuat industri rokok di mana pun juga akan berjuang mati-matian agar dagangannya tidak dihambat. Kalau perlu dengan berbohong atau bersikap munafik.
Mahkamah Agung di Washington pernah memvonis bahwa para CEO industri rokok telah melakukan pembohongan publik karena tidak berterus terang tentang bahaya rokok kepada konsumennya. Sejak itu antara Kongres Amerika dengan industri rokok dicapai kesepakatan mengenai Mutual Settlement Agreement. Artinya, konsumen berhak menuntut pabrik rokok jika ia terkena penyakit akibat rokok. Ganti rugi yang terbesar yang pernah diputuskan oleh sebuah pengadilan negara bagian untuk seorang korban rokok mencapai tiga juta dolar AS.
Sejak itu industri rokok Amerika merasa gerah untuk berbisnis di negerinya sendiri. Mereka berekspansi ke negara berkembang, dengan bantuan diplomasi pemerintah Amerika sendiri (!). Bagi Pemerintah Amerika mungkin berlaku dalil “jangan racuni rakyat Amerika sendiri, tapi racunilah rakyat negara berkembang”. Maka ketika konsumsi rokok dalam negeri menurun sebesar 20 persen, eskpor rokok mereka ke negara berkembang meningkat 300 persen.
Dapat dimengerti ketika dunia melalui WHO sepakat untuk mengatur konsumsi rokok untuk menekan meningkatnya penyakit tidak menular (Non Communicable Diseases), Pemerintah AS (Presiden Bush) menolak untuk ikut menanda tanganinya. Mereka mengatakan biarlah masalah kesehatan diatur oleh masing-masing negara. WHO tidak usah ikut campur. Ironisnya, di dalam negerinya sendiri peredaran rokok diatur secara ketat. Sekali lagi terbukti bahwa kepentingan diri sendiri lebih diutamakan.
Sikap egois perokok juga muncul ketika pecandu rokok tetap merokok di tempat-tempat umum meskipun orang di sekitarnya berkeberatan. Bukannya merasa salah, ia justru akan marah kalau ditegur. Sikap beradab pecandu rokok sudah menurun. Dia hanya takut kalau di berada di negeri orang. Sikap egois juga terdapat pada para ulama yang perokok lalu tidak mau mendengarkan pendapat bahwa merokok lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Boleh saja ia tidak mau berhenti merokok, tetapi membiarkan para santrinya merokok adalah sama dengan menjerumuskan mereka ke penyakit-penyakit yang mahal pengobatannya.
Contoh bahwa perokok adalah orang egois adalah ucapan salah seorang anggota Perlemen Daerah Makassar, Yusuf Gunco yang juga Ketua Badan Legislasi Parlemen Daerah, yang menolak membahas rancangan peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Kesehatan, hanya karena ia sendiri perokok. Demi agar kenikmatannya tidak terganggu, ia lebih senang membiarkan rakyatnya tidak terlindungi dari asap rokok orang lain.
Senin, 14 November 2011 21:45 WIB
Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)